ADA perubahan mayor pada struktur karakter masyarakat kontemporer, yakni perubahan dari historic bourgeouis man yang menekankan pada kedisiplinan diri dan motivasi menjadi masyarakat yang sangat responsif pada kepentingan diri dan kelompoknya serta pada tekanan dari “orang lain.”

Demikian ungkap David Riesman dalam buku sosiologi populernya The Lonely Crowd. Ada kecenderungan orang hanya peduli pada dirinya dan kelompoknya sendiri yang secara atomistic membuat terpisah dari “orang/kelompok lain.”

Kompetisi kehidupan yang individualistik dan atomistik ini tidak jarang secara garang meruntuhkan nilai-nilai normatif hanya demi kemenangan dan kekuasaan diri sendiri dengan menginjak-injak martabat kemanusiaan orang atau kelompok lain.

Motto yang paling dipegang adalah to kill or to be killed (membunuh atau terbunuh), sebuah slogan yang sebenarnya hanya lumrah dalam kondisi perang. Keadilan menjadi janji surga yang tidak mungkin terwujud, karena yang ada dalam prinsip hidupnya hanya kemenangan dan kekuasaan. Orang lain tidak boleh menang dan untung sementara dirinya tidak boleh kalah dan rugi.

Ada dua surat dalam al-Qur’an yang dimulai dengan kata “celakalah” (wayl), yang menunjukkan kepada manusia perlunya menghindarkan diri dari sifat-sifat yang disebutkan di dalamnya. Dua surat ini menarik untuk dikaji dalam hubungannya dengan deviasi kehidupan masyarakat kontemporer seperti disebut di atas.

Surat pertama adalah surat al-Muthaffifin yang bermakna orang yang berbuat curang dan surat kedua adalah surat al-Humazah yang bermakna orang yang mengumpat. Curang dan mengumpat adalah dua sifat tercela (madzmumah) yang berpotensi besar merusak martabat kemanusiaan. Dua ayat ini sesungguhnya menjadi pagar penjaga martabat manusia yang mulia.

Surat al-Muthaffifin yang merupakan surat ke 83 dalam al-Qur’an ini secara harfiyah mengecam pelaku kecurangan dalam timbangan yang mentradisi sejak jaman dahulu, termasuk pada masa jahiliyah. Menurut hadits Ibnu Abbas, praktek curang dalam perdagangan ini marak juga di masyarakat Madinah di awal-awal kedatangan Rasulullah Muhammad migrasi dari Mekah ke Madinah. Inilah yang menjadi penyebab turunnya (asbab al-nuzul) surat tersebut di atas. Sejak turunnya surat itu, secara bertahap perilaku dagang masyarakat menjauh dari kecurangan.

Mengurangi timbangan untuk merugikan orang lain dan menguntungkan diri sendiri dikecam dan diancam keras dalam al-Qur’an, maka bagaimana lagi dengan orang yang bukan hanya menambah dan mengurangi timbangan melainkan juga menghilangkan atau mencuri alat penimbangnya sehingga tidak ada lagi ukuran yang pasti akan hadirnya keadilan.

Surat al-Muthaffifin ini secara khusus memang berbicara tentang kecurangan dalam timbangan perdagangan, namun pesan umum yang terkandung adalah meliputi segala bentuk kecurangan yang membunuh keadilan dan merugikan orang lain.

Format atau model kecurangan sepertinya ikut berevolusi segaris dengan perkembangan dinamika masyarakat. Kalau pada masyarakat tradisional kuno kecurangan cenderung dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan personal, pada masyarakat industrial modern ada kecenderungan dilakukan secara terang-terangan dan bersama-sama.

Saat ini di negeri kita sedang hit istilah kecurangan STM (sistematis, terstruktur dan massif). Mengaca pada sebab turunnya surat al-Muthaffifin di atas, sangat perlu para ulama sebagai pewaris para nabi secara bersama menyuarakan kecaman atas kecurangan sehingga negeri ini terbebas dari kehancuran karena adzab dari Allah Swt.

Bersihnya praktek kecurangan dalam masyarakat sungguh akan menjadi tonggak kuat bangunan trust (kepercayaan) yang menjadi perekat utama negara yang memiliki banyak ragam suku, ras, bahasa dan agama ini. Kata “tunggal” yang bermakna satu dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika itu hanya bisa dibangun dan dijaga dengan baik ketika tidak ada lagi saling curiga antar anak bangsa. Saling curiga akan selalu hadir manakala rasa keadilan terlukai, kejujuran ternodai dan keterbukaan tertutupi.

Trustmerupakan esensi utama social capital (modal sosial) yang tanpanya jalan kehidupan masyarakat akan mengalami goncangan. Francis Fukuyama dalam bukunya The Great Disruption menyebut kesaling percayaan sebagai pelumas yang membuat jalannya masyarakat atau organisasi menjadi cair, luwes dan lancar. Maka kecurangan merupakan peluntur atau bahkan penghancur efektifitas pelumas tersebut.

Kecurangan hadir karena beberapa sebab yang saling berkait mulai dari sebab-sebab ekonomi, politik, sosial dan budaya. Namun di balik itu semua, kecurangan adalah muncul atas nama nafsu serakah dan mau menang sendiri dengan menegasikan norma agama yang ditetapkan dan norma sosial yang disepakati.

Agama dan kearifan lokal yang hidup dalam adat, tradisi dan budaya sesungguhnya adalah alat penimbang atau penakar benar dan salah, baik dan buruk, indah dan jelek untuk perilaku manusia dalam hidup dan bermasyarakat.

Hilangnya alat penimbang berefek pada tidak jelasnya aturan dan pedoman. Pada gilirannya adalah munculnya ketidakadilan yang bukan tidak mungkin menjadi pemicu retaknya persahabatam dan persaudaraan. Karena inilah maka Allah sangat mengutuk orang-orang yang curang.

Sementara itu surat kedua adalah surat al-Humazah yang merupakan surat ke 104 , dalam ayat 1, 2, dan 3 nya sangat tegas menyatakan: “Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.” Mengumpat dan mencela adalah melukai perasaan orang lain. Mengumpat dan mencela adalah penyakit sosial yang sering menjadi penyulut pertengkaran besar.

Mengumpat dan mencela adalah aktifitas yang lahir dari penilaian hidup yang menggunakan standar ganda (double standard) yang digunakan dengan niat secara tidak adil mengerdilkan orang atau kelompok lain sambil mengangkat tinggi posisi diri atau kelompok sendiri. Ketika orang lain protes maka protesnya dianggap sebagai pembangkangan, sementara ketika dirinya protes maka protesnya dianggap sebagai sebuah ketegasan. Double standart seperti ini pada waktunya akan terbaca jelas oleh pembaca sejarah.

Bersikap arif tanpa mengumpat dan mencela serta memberikan kesempatan kepada semua manusia menempuh jalan yang jujur dan adil adalah sikap orang-orang yang bermartabat dan menghargai martabat kemanusiaan. Menutup pintu kesejajaran dan keadilan dengan melemparkan umpatan dan celaan adalah potret ketidakberdayaan diri yang dibungkus dengan keangkuhan.

Curang, mengumpat dan mencela haruslah dikeluarkan dari karakter kebangsaan yang terus berbenah. Sifat-sifat negatif itu tidak boleh mengotori keadilan, kejujuran dan saling menghargai yang telah diajarkan oleh para pendiri dan guru bangsa. Hanya dengan keadilan, kejujuran dan saling menghormati bangsa ini akan bisa tumbuh di atas trust yang merekatkan segala perbedaan.

Manusia-manusia culas, pembohong dan pendendam sungguh berbahaya untuk menjadi “teladan” generasi yang akan datang. Orang-orang dengan karakter seperti itu harus didiskualifikasi dari daftar calon pemimpin bangsa, karena mereka hanya akan mengantarkan negeri ini pada zona celaka sebagaimana disebutkan dalam awal dua surat al-Qur’an tersebut di atas.

Martabat suatu bangsa sangat ditentukan oleh martabat manusia yang ada di dalamnya. Indonesia yang mulia hanya bisa dibangun oleh manusia-manusia yang berkarakter mulia. Semoga Ramadhan yang sebentar lagi berakhir ini berhasil memperbaiki karakter setiap anak bangsa, sehingga pasca-Ramadhan akan banyak muncul manusia tulus, jujur dan ikhlas.

Kalaulah tak sempat menyambut awal Ramadhan dengan baik karena hingar bingarnya politik, masih ada kesempatan mengakhiri Ramadhan dengan cara yang indah dan baik, yakni dengan cara memaksimalkan potensi diri untuk kembali kepada Allah serta saling memaklumi dan memaafkan sesama anak bangsa.

Sumber:  http://nasional.inilah.com/read/detail/2122557/menjaga-martabat-kemanusiaan

Post a Comment

Silahkan berkomentar bila ada yang tidak sesuai. Anda bisa mengusulkan artikel yang berhubungan dengan Sosiologi.